WARTA KOTA, PALMERAH – Pagelaran debat kandidat Pilkada DKI Jakarta penting untuk disimak. KPU DKI sebagai penyelenggara pun menegaskan debat kandidat sebagai ajang guna mengetahui sejauh mana kompetensi Cagub-cawagub DKI dalam mengatasi sejumlah masalah di ibu kota.

Pagelaran debat kandidat yang diadakan sebanyak tiga kali itu diharapkan semua lapisan warga Jakarta dapat menyaksikan langsung di layar televisi.

Namun, bagaimana dengan penyandang tuna rungu yang memiliki hak sama dalam memilih gubernur DKI Jakarta yang menurut mereka adalah terbaik.

Berukuran kotak kecil, letaknya berada di pojok bawah kanan ataupun kiri di layar kaca televisi, untuk sebagian masyarakat yang dapat mendengar ataupun melihat keberadaanya memang tak penting, tapi tidak bagi penyandang tunarungu.

Dalam debat kandidat perdana (13/1) kemarin sosok wanita yang sibuk menggerakan tangan hingga jemarinya dan berada di kotak kecil itu ialah Sasanti T Soegianto.

Wanita kelahiran 1958 ini terlihat indah memainkan tanganya saat debat berlangsung memanas.

Menurutnya melakoni profesi bahasa isyarat sejatinya memiliki fungsi yang sederhana namun vital.

“Ya fungsinya sih sederhana saja bahwa orang tuli juga punya hak untuk mendapatkan informasi, ya kan itu kan bahasa isyarat,” kata Santi (sapaan akrab) ketika dihubungi Warta Kota, di Jakarta, Kamis (19/1/2017).

Santi mulai menggeluti bahasa isyarat sejak tahun 2008 silam. Berawal dari ketertarikanya akan segala ragam bahasa sejak muda, Santi memandang bahasa isyarat dari sisi yang berbeda.

Keindahan gerakan tangan dalam memberikan bahasa isyarat, menjadi dorongan Santi untuk mulai terjun mempelajari bahasa isyarat.

“Jadi sejak saya muda itu saya penasaran, tapi di Indonesia saat itu kan sulit ya kita tidak tahu mau belajar kemana kira-kira tahun 2009 atau 2008 saya baru dapat akses saya bisa belajar dengan siapa gitu,” kisahnya secara singkat.

Wanita lulusan S1 Politik di Universitas Indonesia ini secara langsung mendapat pelatih dari seorang tunarungu, lantaran saat itu tempat untuk belajar bahasa isyarat masih sullit untuk dicari.

“Ya sebenernya untuk tempat les juga ada kaya seperti di tempat wadah saya, yang ngajar tidak tuli, tapi kalau saya dari dulu karena jaman dulu belum ada kelas saya selalu one on one dengan pelatih saya belajarnya,” ungkapnya.

Dari Penyanyi Country Hingga Penerjemah Bahasa Isyarat

Senada dengan Santi, sebagai penerjemah bahasa isyarat yang tergabung dalam komunitas Indonesian Sign Language Interpreters (Inasli), Pinky Warouw Wickiser yang tampil juga sebagai penerjemah pada debat kandidat perdana, pernah suatu ketika mengalami kerusakan pada pita suaranya.

Pinky yang sebelumnya berprofesi sebagai penyanyi Country itu, dipaksa harus beristirahat dan tidak banyak bicara apalagi aktivitas bernyanyi, sesuai saran dokter selama 6 bulan lamanya.

“Itu sekitar tahun 2000 awalnya pita suara saya rusak, bahkan untuk berbicara saja susah. Nah, karena saya tidak bisa diam, akhirnya saya menemukan cara untuk berkomunikasi,” ucap Pingky ketika dihubungi Warta Kota.

Kakak ipar dan sepupunya yang tunarungu membuat Pinky cukup familiar dengan bahasa isyarat sejak lama. Ia pun memilih bahasa isyarat sebagai sarana komunikasinya saat itu.

Pinky mencoba mendatangi sebuah SLB dan diperkenalkan pada seorang tunarungu bervokal untuk mengajarinya.

Dari situ ia mulai diajak bergabung dalam berbagai kegiatan kaum tunarungu, seperti mendatangi sekolah-sekolah, mengikuti arisan, dan sebagainya.

Awalnya, Pinky hanya menjadi penerjemah pada gereja-gereja tunarungu. Selanjutnya, Pinky direkomendasikan untuk mendampingi tunarungu pada berbagai konferensi-konferensi besar penyandang disabilitas.

“Setelah mempelajari bahasa isyarat, saya merasa pintu terbuka lebar dan membawa saya untuk melayani teman-teman tunarungu.”

Menurutnya, apa yang ia lakukan itu adalah panggilan hati untuk penyandang disabilitas.

“Yah ini sebuah anugerah panggilan hati yah. Tidak semua penerjemah ingin tampil di depan umum” katanya.

Dikatakan Pinky, jumlah penerjemah bahasa isyarat di Indonesia sangat minim. Apalagi kebutuhan untuk seorang penerjemah diperlukan dalam berbagai acara umum.

Pinky mengakui, menjadi penerjemah bahasa isyarat memang tidak mudah. Meski begitu, ia tidak pernah mengeluh. Ia tetap eksis sebagai penerjemah meski usianya telah menginjak 60 tahun.

Persiapan Debat Kandidat Kedua

Usai debat kandidat perdana, Santi mengaku saat ini terus mengasah skill bahasa isyarat, guna jelang debat kandidat kedua pada tanggal (27/1/2017) pekan depan.

“Sampai sekarang pun ini saya lagi on the way untuk ketemu pelatih saya. Ya untuk persiapan debat nanti dan kita memang usahakan rutin seminggu sekali untuk berlatih sama pelatih saya,” katanya.

Pasalnya, untuk memberikan pemahaman yang baik kepada tunarungu, memberikan isyarat tidak boleh sampai sulit dipahami. Dikatakannya, bahasa isyarat belum memiliki aturan baku yang mengaturnya.

“Kaya sertifikasi itu belum ada yang formal ya kita selalu menerjemahkan di TV atau di debat selalu kita didampingi oleh penasehat isyarat-isyarat tuli,” imbuhnya.

Seorang pendamping tunarungu dibutuhkan, ketika Santi memberi isyarat kepada warga berkebutuhan khusus itu, yang menyaksikan dirinya di layar kaca.

“Dia memonitor mengevaluasi kita, jadi misalnya kita abis bicara dari segmen 1 ke segmen berikut akan ada break, nah disitu kita dievaluasi. Kita kan ada pendamping tuli nya kalau tulisnya mengerti kok anda tidak mengerti gitu,” jelasnya. (Faizal Rapsanjani)

 

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Sosok Penerjemah Bahasa Isyarat Debat Kandidat, http://wartakota.tribunnews.com/2017/01/25/sosok-penerjemah-bahasa-isyarat-debat-kandidat.

Editor: Adi Kurniawan

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

7 − 4 =