Posts

Ini Sosok Penerjemah Bahasa Isyarat di Debat Pilkada

Sapa Indonesia akan berbincang dengan penerjemah bahasa isyarat dalam debat pilkada DKI Jakarta, Pingkan C R Warouw, Sasanti Soegiarto, dan Edik Widodo.

Sumber artikel: https://www.kompas.tv/content/article/2741/video/sapa-indonesia/ini-sosok-penerjemah-bahasa-isyarat-di-debat-pilkada
Kompas.tv | SELASA, 18 APRIL 2017 22.14 WIB

Demi suara tuna rungu yang sangat berpengaruh

Dalam setiap gelaran debat Pilkada DKI yang diselenggarakan oleh KPU Jakarta, pemirsa akan menemukan sebuah kotak kecil di sisi kanan bawah televisi. Kotak tersebut memperlihatkan seorang penerjemah bahasa isyarat.

Bagi penonton setia televisi secara umum, tak hanya di Indonesia sebenarnya, kehadiran penerjemah bahasa isyarat masih cukup asing. Namun, bagi saudara-saudara kita yang tuna rungu, keberadaan mereka kala debat berlangsung sangat membantu.

Suara penyandang tuna rungu sangat penting dalam Pilkada.

“KPU dituntut untuk memberikan akses yang sama, lho. Satu suara saja berpengaruh,” kata Edik Widodo kepada Kompas. Edik adalah salah satu dari tiga penerjemah yang bertugas pada debat Pilkada putaran kedua yang dilaksanakan pada Rabu (13/4) di Hotel Bidakara, Jakarta.

Dua rekan Edik adalah Sasanti Soegiarto dan Pinky. Mereka berasal dari Perkumpulan Penerjemah Bahasa Isyarat Indonesia atau Indonesian Sign Language Interpreters (Inasli) yang ditugaskan oleh KPU DKI Jakarta untuk membantu warga Jakarta yang tuna rungu agar memahami jalannya debat.

Menurut Edik, satu suara dari penyandang tuna rungu itu sangat berpengaruh dalam penentuan hasil Pilkada. Ia memberi contoh saat Pilkada Banten 2017 di mana pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief kalah 1 persen saja dari pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumy. Bila di Banten angka itu signifikan dalam menentukan siapa menang dan siapa kalah, di Jakarta tentu lebih signifikan lagi.

Para penerjemah bahasa isyarat rela dijadikan bahan guyonan demi membantu saudara-saudara yang tuna rungu.

Rupanya, dalam menerjemahkan tidak cukup hanya dengan menggunakan gerakan tangan. Para penerjemah juga diwajibkan untuk menunjukkan mimik wajah yang ekspresif sesuai dengan apa yang mereka terjemahkan.

Karena inilah tak jarang penonton awam menjadikan mereka bahan guyonan. Pinky mengaku bahwa mereka tak peduli dengan itu sebab visual sangat penting bagi penyandang tuna rungu. Hal senada diungkapkan oleh Edik. Menurutnya, itu adalah konsekuensi pekerjaan.

Dari pada kami jaim tapi mereka enggak mengerti. Orang lain bilang kami konyol, gak apa-apa, itu harga yang harus kami bayar, yang penting pesannya sampai.

Bagi para penerjemah, itu dilakukan karena warga penyandang tuna rungu pantas diperlakukan sama. “Bayar pajak PBB, motor, sama-sama tidak didiskon. Makan pun sama-sama kena pajak. Maka dalam hal pelayanan harus sama juga. Kesetaraan hak ya seperti itu,” lanjut Edik.

Tugas para penerjemah bahasa isyarat memang tak mudah dan patut diapresiasi.

Ketiga penerjemah bahasa isyarat itu mengaku ada beberapa kesulitan dalam menjalankan tugas. Misalnya, terkait akronim yang sering digunakan para kandidat. Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno tercatat berulang kali mengeluarkan singkatan seperti OK-OCE, OK-OCE Mart, OK-OCare, serta OK-OTrip.

Kemudian, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat juga memakai singkatan RPTRA, BPHTB, dan KUA. “Waktu Pak Djarot bilang KUA itu, aku pikir KUA tempat menikah,” kata Pinky. Tantangan berikutnya adalah soal gaya bicara.

Menurut ketiganya, Ahok berbicara dalam tempo yang sangat cepat. Sedangkan Anies suka memakai kata-kata kiasan. Walau begitu, mereka tetap wajib menunjukkan terjemahan yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh masing-masing kandidat. Faktor-faktor tersebut membuat para penerjemah bahasa isyarat patut mendapat apresiasi.

Sumber artikel: https://news.idntimes.com/indonesia/rosa-folia/jadi-guyonan-hingga-salah-kiasan-suka-duka-penerjemah-bahasa-isyarat-dalam-debat/full
Published by Rosa Folia 13 April 2017

JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta tetap mengakomodasi kebutuhan warga penyandang tuna rungu atau gangguan pendengaran dengan menyediakan penerjemah bahasa isyarat dalam acara debat calon gubernur-calon wakil gubernur DKI Jakarta, Rabu (12/4/2017) malam.

Perkumpulan Penerjemah Bahasa Isyarat Indonesia atau Indonesian Sign Language Interpreters (Inasli) ditunjuk untuk menyediakan penerjemah-penerjemah itu. Sasanti Soegiarto, Edik Widodo, dan Pinky, kemudian dipilih menjadi penerjemah ucapan cagub-cawagub dalam debat ke bahasa isyarat.

“KPU dituntut untuk memberikan akses yang sama lho. Satu suara saja berpengaruh lho,” ujar Edik, kepada Kompas.com, di Hotel Bidakara, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (13/4/2017).

Edik mencontohkan pada Pilkada Banten 2017. Pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief kalah perolehan suara hanya sekitar 1 persen dari pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumy.

“Itu di Banten, apalagi di Jakarta 0,5 persen suara saja berpengaruh,” ujar Edik.

Selain itu, penyandang disabilitas seperti tuna rungu juga menjalankan kewajiban yang sama seperti warga lainnya. Edik mengatakan mereka sama-sama membayar pajak demi pembangunan di Jakarta.

Sudah seharusnya, kata Edik, mereka mendapatkan hak yang sama dengan warga Jakarta lainnya.

“Bayar pajak PBB, motor, sama-sama tidak didiskon. Makan pun sama-sama kena pajak. Maka dalam hal pelayanan harus sama juga. Kesetaraan hak ya seperti itu,” ujar Edik.

Selama debat berlangsung, Edik menggunakan ekspresi-ekspresi yang mencolok saat menerjemahkan ucapan cagub-cawagub ke dalam bahasa isyarat. Dia mengatakan hal itu dilakukan agar para tuna rungu mengerti maksud yang disampaikan dua pasangan calon tersebut.

Edik tidak peduli jika aksinya menjadi bahan olokan.

“Dari pada kami jaim tapi mereka enggak mengerti. Orang lain bilang kami konyol, enggak apa-apa itu harga yang harus kami bayar, yang penting pesannya sampai,” ujar Edik.

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Penerjemah Bahasa Isyarat dalam Debat Pilkada DKI, Kerja Total Demi Suara Penyandang Tuna Rungu”, https://megapolitan.kompas.com/read/2017/04/13/11345791/penerjemah.bahasa.isyarat.dalam.debat.pilkada.dki.kerja.total.demi.suara.penyandang.tuna.rungu.
Penulis : Jessi Carina

Sosok Penerjemah Bahasa Isyarat di Debat Pilkada DKI

Di tengah riuhnya pesta rakyat, berbagai upaya dilakukan negara agar pilkada dapat berlaku sama termasuk bagi para mereka yang bisu dan tuli. Amalina Luthfia menemui juru bahasa isyarat yang bertugas menerjemahkan visi misi para kandidat yang tujuannya agar warga disabilitas terbantu dan akhirnya menggunakan hak pilih mereka.

 

Sumber artikel: http://video.metrotvnews.com/360/Rb1lQ1YN-sosok-penerjemah-bahasa-isyarat-di-debat-pilkada-dki
Video 360 | 16 Februari 2017 20:55 WIB

WARTA KOTA, PALMERAH – Pagelaran debat kandidat Pilkada DKI Jakarta penting untuk disimak. KPU DKI sebagai penyelenggara pun menegaskan debat kandidat sebagai ajang guna mengetahui sejauh mana kompetensi Cagub-cawagub DKI dalam mengatasi sejumlah masalah di ibu kota.

Pagelaran debat kandidat yang diadakan sebanyak tiga kali itu diharapkan semua lapisan warga Jakarta dapat menyaksikan langsung di layar televisi.

Namun, bagaimana dengan penyandang tuna rungu yang memiliki hak sama dalam memilih gubernur DKI Jakarta yang menurut mereka adalah terbaik.

Berukuran kotak kecil, letaknya berada di pojok bawah kanan ataupun kiri di layar kaca televisi, untuk sebagian masyarakat yang dapat mendengar ataupun melihat keberadaanya memang tak penting, tapi tidak bagi penyandang tunarungu.

Dalam debat kandidat perdana (13/1) kemarin sosok wanita yang sibuk menggerakan tangan hingga jemarinya dan berada di kotak kecil itu ialah Sasanti T Soegianto.

Wanita kelahiran 1958 ini terlihat indah memainkan tanganya saat debat berlangsung memanas.

Menurutnya melakoni profesi bahasa isyarat sejatinya memiliki fungsi yang sederhana namun vital.

“Ya fungsinya sih sederhana saja bahwa orang tuli juga punya hak untuk mendapatkan informasi, ya kan itu kan bahasa isyarat,” kata Santi (sapaan akrab) ketika dihubungi Warta Kota, di Jakarta, Kamis (19/1/2017).

Santi mulai menggeluti bahasa isyarat sejak tahun 2008 silam. Berawal dari ketertarikanya akan segala ragam bahasa sejak muda, Santi memandang bahasa isyarat dari sisi yang berbeda.

Keindahan gerakan tangan dalam memberikan bahasa isyarat, menjadi dorongan Santi untuk mulai terjun mempelajari bahasa isyarat. Read more

Penerjemah bahasa isyarat meramaikan debat calon presiden dan wakil presiden. Kehadiran mereka disambut hangat kaum tuna rungu.

Merdeka.com – Ada yang berbeda dalam acara debat capres kedua yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di stasiun televisi swasta Metro TV kali ini.

Debat capres antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) dengan moderator Ahmad Erani Yustika, kali ini ditampilkan penerjemah dengan bahasa isyarat.

Penerjemah memakai bahasa isyarat itu muncul di pojok kiri layar televisi. Sebelumnya, pada debat pertama di stasiun televisi swasta SCTV, penerjemah bahasa isyarat ini tidak ada.

Penerjemah bahasa isyarat ini penting mengingat banyak rakyat Indonesia yang tuna rungu dan tuna wicara.

Debat kali ini KPU mengangkat topik Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial. Prabowo dan Jokowi akan memaparkan visi-misi yang akan dipakai menyelesaikan masalah sosial yang menyangkut perekonomian Indonesia.

“Selain itu agar mengenal lebih dekat lagi para capres kita dari sisi perekonomian,” kata Ketua KPU Pusat Husni Kamil Manik dalam sambutan acara debat, Minggu (15/6) malam. [mtf]

Sumber artikel: https://www.merdeka.com/peristiwa/debat-kedua-capres-kali-ini-diterjemahkan-pakai-bahasa-isyarat.html
Reporter : Mohamad Taufik | Minggu, 15 Juni 2014 20:16